.

Selamat datang di blog wira lesmana add twitter @wirabogor IG : wira.lesmana E-mail wira.lesmana22@gmail.com

Saturday 2 April 2016

Presidential Threshold

BAB I
PENDAHULUAN
      Latar Belakang
Indonesia adalah negara hukum dengan pemerintahan yang demokratis. Pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, karena itulah rakyat memiliki kekuasaan tertinggi. Dimana Partai politik memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 memberikan peran konstitusional kepada partai politik sebagai peserta Pemilu anggota Dewan Perwakilan, serta Pasal 6A ayat (2) menyatakan partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilu untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu langsung dilaksanakan pertama kali pada tahun 2004 kemudian tahun 2009 dan 2014 sesuai dengan amanat Pasal 22E UUD NRI 1945 untuk memilih DPR, DPD, Presiden dan wakil Presiden, dan DPRD secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali.
Persyaratan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia yang diatur dalam Pasal 6 UUD NRI 1945 diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008, yang merupakan ketentuan Penyelenggaraan Pilpres di Indonesia, hingga kini masih memiliki permasalahan sehingga dibutuhkan Revisi UU Pilpres antara DPR, Akademisi, maupun Masyarakat. Adapun diantaranya mengenai ketentuan yang mengatur tentang syarat Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 mengenai ketentuan ambang batas calon Presiden atau diistilahkan Presidental Threshold (PT), yang menyaratkan bahwa: “Pasangan calon diusulkan oleh Partai politik maupun gabunga partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (Dua Puluh Persen) dari jumlah kursi di DPR atau memperoleh 25% (Dua Puluh Lima Persen) dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden”.
Nazaruddin (2009) dalam karyanya yang berjudul Kebijakan Multipartai Sederhana Dalam Undang-Undang Pemilu. Menurutnya “Presidential Threshold ini menjadi salah satu cara Penguatan sistem Presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Tujuannya menciptakan pemerintahan yang stabil dan tidak menyebabkan pemerintahan yang berjalan mengalami kesulitan didalam mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif”.
Bertentangan dengan pendapat seorang pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang menerangkan bahwa “Presidential Threshold yang terdapat dalam Pasal 9 UU Pilpres, keliru dan bertentangan dengan Pasal 6 A Undang-Undang Dasar 1945. Presidential Threshold sebesar 20 persen dalam UU Pilpres hanya akan membatasi hak politik warga negara untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan mempersempit ruang bagi rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas serta bertentangan dengan sistem Presidensial dan cenderung bersifat sistem parlementer”.
Mahkamah Konstitusi telah mengadakan sebanyak 3 putusan mengenai pengujian terhadap Pasal 9 Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang pemilu Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang dianggap bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( UUD NRI 1945) diantaranya Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 dan Putusan MK Nomor 108/PUU-IX/2013.
Dalam Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 yang mengabulkan permohonan pemilu serentak antara pemilu legislatif dan eksekutif di tahun 2019 membawa aneka penafsiran terhadap eksistensi ketentuan Presidential Threshold pasca putusan tersebut. Yusril Ihza Mahendra melakukan pengajuan uji materi penghapusan ketentuan PT dan berpendapat dengan dikabulkannya Pemilu Serentak oleh MK pada Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 maka PT juga otomatis tidak bisa lagi dijadikan dasar untuk pemilu serentak 2019 dan inkonstitusional.
Oleh karena itu, apakah Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008 tentang ketentuan Presidential Threshold (PT) masih diberlakukan atau dihapuskan saja untuk pemilu serentak tahun 2019 ?.
Permasalahan perbedaan pandangan, pertentangan serta putusan MK mengenai Ambang Batas Presiden (PT) dikaitkan dengan dikabulkannya permohonan Pemilu Serentak 2019 diataslah yang melatarbelakangi ketertarikan penulis untuk mengkaji hal ini lebih dalam. Adapun judul yang dipilih yaitu EKSISTENSI KETENTUAN PRESIDENTIAL THRESHOLD (PT) DALAM PEMILU SERENTAK 2019.

1.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam karya tulis ini adalah :
1.        Kekuatan Presidential Threshold (PT) dalam Pemilu Sertentak 2019 ?
2.        Kelemahan Presidential Threshold (PT) dalam Pemilu Sertentak 2019 ?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1.3.1  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut
a)      Mengetahui Kekuatan dan Kelemahan Presidential Threshold (PT) dalam Pemilu Serentak 2019.
b)      Menjelaskan Alternatif Presidential Threshold (PT) dalam Pemilu Serentak 2019.
1.3.2. Manfaat Penulisan
a)      Secara Teoritis
Untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, menambah dan melengkapi karya ilmiah serta memberikan kontribusi pemikiran mengenai PT pada Pemilu serentak tahun 2019.
b)      Secara Praktis
Hasil penulisan ini semoga bermanfaat bagi semua orang, terutama untuk peminat pada perkuliahan di Fakultas Hukum dan untuk sumbangan pemikiran ilmiah hukum Indonesia. Penulisan ini juga diharapkan mampu mengggambarkan kekuatan dan kelemahan PT berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
BAB II
PEMBAHASAN
 2.1. Kekuatan Presidential Threshold (PT) dalam Pemilu Serentak 2019
 Menurut Mahkamah, putusan Mahkamah Nomor 14/PUU-XI/2013 bertanggal 23 Januari 2014 ataupun putusan Mahkamah Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 bertanggal 18 Februari 2009 telah menyebutkan secara tegas bahwa ketentuan a quo (Presidential Threshold) merupakan kebijakan hukum terbuka atau delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai Legal Policy oleh pembentuk Undang-Undang.
Menurut Jimly Asshiddiqie, Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pilpres masih realistis untuk tetap digunakan karena presidential memang harus menggunakan threshold yang besar. Sedangkan menurut Nazaruddin dalam karyanya yang berjudul Kebijakan Multipartai Sederhana Dalam Undang-Undang Pemilu. Menurutnya “Presidential Threshold (PT) ini menjadi salah satu cara Penguatan sistem Presidensial melalui penyederhanaan partai politik. Tujuannya menciptakan pemerintahan yang stabil dan tidak menyebabkan pemerintahan yang berjalan mengalami kesulitan didalam mengambil kebijakan dengan lembaga legislatif”.
Apabila kita melihat kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 dan 2009, dengan menggunakan UU. No.42 Tahun 2008 ini dengan pemberlakuan ambang batas (Presidential Threshold) kenyataannya presiden dalam menjalankan pemerintahan berjalan sesuai dengan UUD 1945 yaitu lima tahun tanpa dijatuhkan oleh parlemen. Disamping itu, apabila Presidential Threshold dihapuskan maka akan berdampak pada kepemimpinan eksekutif yang tidak akan mendapat dukungan dari parlemen, sehingga akan sulit untuk melaksanakan kebijakan.
Menurut kami alternatif yang dapat digunakan dalam pengaturan Undang-Undang Dasar 1945 dan UU No. 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilu serentak tahun 2019 ialah :
Undang-Undang Dasar 1945
Alternatif Kami
Dalam Pasal 6 A ayat (2) “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Diubah menjadi Pasal 6 A ayat (2) “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dan diumumkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Maksud dari masukknya kata diumumkan dalam Pasal 6 A ayat (2) ini yakni memberikan gambaran agar partai politik atau gabungan partai politik wajib mengumumkan calon presiden dan calon wakil presiden sebelum berlangsungnya pemilu. sehingga koalisi yang dibangun dimulai dari sebelum pemilihan legislatif dan eksekutif putaran pertama. Bukan ketika adanya pemilu presiden dan wakil presiden di putaran ke dua. Selain itu, efektifnya sistem presidential treshold dalam meminimalisir bakal calon presiden yang bisa maju menjadi calon presiden, maka sistem ini seyogyanya tetap ada. Hal ini akan membangun sistem presidensial yang di dukung oleh parlemen. Sehubungan indonesia merupakan negara multipartai. Oleh karena itu, kemungkinan parameter yang digunakan dalam mengusung calon presiden dan wakil presiden pada pemilu tahun 2019 ini dengan menggunakan hasil pemilu 2014.
UU No 42 Tahun 2008
Alternatif Kami
Pasal 9 yang berbunyi “Pasangan Calon diusulkan oleh partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Diubah menjadi “Pasangan Calon diusulkan oleh partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR periode sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden”.
Penghapusan tanda koma pada pasal 9 diatas memberikan makna bahwa pemilu anggota DPR yang dimaksud yakni pemilu DPR periode sebelumnya dalam hal ini mengacu pada tahun 2014 untuk pemilu serentak 2019 sehingga, baik pemilu sesuai dengan amanah konstitusi ataupun pemilu darurat, maka acuannya yakni pemilu yang terakhir kali dilaksanakan.
2.2. Kelemahan Presidential Threshold (PT) dalam Pemilu Serentak 2019

UUD 1945 sejak dulu menganut sistem pemerintahan presidensial begitulah yang semula dibayangkan oleh perancang UUD 1945. Pendapat seorang pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra yang menerangkan bahwa “Presidential Threshold yang terdapat dalam Pasal 9 UU Pilpres, keliru dan bertentangan dengan Pasal 6 A Undang-Undang Dasar 1945. PT sebesar 20 persen dalam UU Pilpres hanya akan membatasi hak politik warga negara untuk mencalonkan diri sebagai calon Presiden dan mempersempit ruang bagi rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas serta bertentangan dengan sistem Presidensial dan cenderung bersifat sistem parlementer”.
Yusril Ihza Mahendra melakukan pengajuan uji materi penghapusan ketentuan PT dan berpendapat dengan dikabulkannya Pemilu Serentak tahun 2019 oleh MK pada Putusan MK Nomor 14/PUU/XI/2013 maka Presidential Threshold (PT) juga otomatis tak bisa lagi dijadikan dasar untuk Pilpres 2019 dan inkonstitusional. Beliau juga merujuk pada Pasal 6 A UUD 1945, bahwa “partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden” berarti tidak ada alasan hukum yang bisa mengeleminasi partai politik untuk mengajukan Capresnya.
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Andalas Prof. Dr. Saldi Isra, bahwa aturan PT sebesar 20% kursi di parlemen atau 25% suara sah Pemilu sebagai syarat bagi partai politik untuk mengajukan calon Presiden dan calon Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden (Pilpres) adalah Inkonstitusional.
Menurut pandangan penulis aturan Presidential Threshold dalam pemilu serentak 2019 dihapuskan saja, karena hak warga negara untuk menentukan pilihan sesuai dengan hati nuraninya dan agar alternatif pilihan presiden dan wakil presiden lebih banyak, sehingga dapat menentukan mana calon yang berkualitas atau tidak.
Penghapusan ambang batas (Presidential Threshold) tidak akan mempengaruhi sistem presidensial karena kenyataannya selama presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada periode kedua berjalan sejak tahun 2009 pemerintahan juga tidak didukung oleh sepenuhnya partai pendukung yang selalu menghambat kebijakan yang dijalankan oleh presiden. Hal ini justru sebaliknya, partai politik di DPR yang tidak masuk dalam koalisi yang kelihatannya turut mendukung kebijakan yang dijalankan oleh presiden.
Pembentuk undang-undang (pemerintah dan DPR) harus memikirkan ulang tentang ambang batas (Presidential Threshold) karena hal tersebut akan membatasi rakyat untuk mendapatkan alternatif pilihan yang lebih banyak dan juga lebih baik. Pembatasan calon berarti membatasi saluran politik warga negara sebagai pemilih yang kemudian tidak mustahil akan membentuk masyarakat golongan putih (golput), karena calon mereka yang akan dipilih dari pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak ada. Penghapusan ambang batas (Presidential Threshold) juga meningkatkan partisipasi warga negara sebagai pemilih karena daya tarik calon presiden dan wakil presiden lebih banyak pilihannya.
Sistem presidensial yang dianut UUD 1945 merupakan sistem presidensial murni, sehingga presiden tidak dapat dijatuhkan begitu saja oleh partai politik yang duduk di parlemen (DPR), meskipun partai politik itu mempunyai kursi mayoritas di DPR. Menurut Syamsudin Harris, secara teoritis basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen (DPR) dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. Dengan demikian, sistem presidensial akan tetap efektif dan kuat dalam pemerintahan, meskipun pemilu serentak dilaksanakan tanpa harus ada persyaratan tertentu seperti Presidential Threshold bagi partai politik pengusung calon presiden dan wakil presiden. UUD 1945 itu sendiri yang menyatakan bahwa sistem presidensial yang dianut berbeda dengan negara-negara lain yang mempunyai posisi yang kuat seorang presiden dalam menjalankan pemerintahannya.
Atas dasar itu, maka PT dalam revisi UU Pilpres tidak perlu ada pengaturannya, karena amanat konstitusi itu mengandung makna presiden dipilih langsung oleh rakyat, sehingga legitimasi pemerintahan bukan dari partai melainkan langsung dari rakyat, partai politik berperan sebagai fasilitator dalam menjalankan mekanisme demokrasi, dan tidak akan mengurangi makna kedaulatan rakyat. Ketentuan mengenai PT dalam revisi UU Pilpres harus mempertimbangkan das sollen dan das sein, oleh karena itu revisi UU Pilpres perlu dilakukan terutama terkait dengan pengaturan PT, yaitu dengan menghapus PT dari revisi UU Pilpres dan mengembalikan pengaturannya pada Konstitusi.

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Alternatif dapat kami simpulkan ialah Presidential Threshold tidak perlu dipersyaratkan dan perlu dihapuskan dalam Pasal 9 UU No. 42 tahun 2008 tentang Pilpres, karena Pemilu tahun 2019 dilaksanakan serentak antara pemilihan legislatif dan eksekutif dan tidak ada dan relefan lagi syarat itu, namun yang dikhwatirkan ialah adanya calon tunggal dan ada banyaknya kandidat yang dicalonkan partai politik. Menurut kami perlu persyaratan khusus untuk pencalonan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung, seperti dengan mendorong partai politik untuk berkoalisi dalam mencalonkan presiden dan wakil presiden sebelum pemilu dilaksanakan. Selain itu peghapusan syarat Presidential Threshold memberikan peluang partai baru untuk mencalonkan sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Pandangan kami yang lain ialah perlu adanya pengaturan satu perundangan Pilpres dan Pileg, dimana Pemerintah dan DPR harus segera mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) pemilihan umum legislatif dan eksekutif dalam satu perundangan. Substansinya mulai dari konsideran dasar mengingatnya, ketentuan umum, asas, penyelenggaraan, jenis waktu penyelenggara, peserta pemilu, persyaratan calon, pencalonan, penentuan calon, pemilih, pendaftaran pemilih, kampanye dan dana kampanye, pengumutan dan penghitungan suara, penetapan calon terpilih, pelantikan, pengawasan, pemantauan, ketentuan pidana, peradilan penyelesaian perselisihan hasil serta hal lain yang dianggap penting untuk dimasukkan, namun tetap mengacu pada kombinasi perundangan sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Asshiddiqie, Jimly. 2010. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II. Sekretariat Jendral Dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Buana Ilmu Popular.
Gaffar, Janedjri M. 2012. Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan UUD NRI 1945). Konstitusi Press. Jakarta. 2012. Janedri M. Ghaffar. Politik Hukum Pemilu. Jakarta. Konstitusi Pres.
Isra, Saldi. 2008. Pergeseran fungsi legislasi : Menguatnya model legislasi parlementer dalam sistem Presidensial Indonesia. Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada. 2010
Karya Tulis
Anggara.Ganjar.dkk. 2015. Transformasi Model Pemilu Serentak Di Indonesia Tahun 2019 Pasca Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/20013, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Haris. Syamsuddin. 2012. Salah Kaprah Presidential Threshold, Koran sindo. 30 Oktober 2012.
Nazaruddin. 2009. Kebijakan Multipartai sederhana dalam undang-undang pemilu. Jakarta.. Jurnal Konstitusi Volume 1 Nomor 1. juni 2009.
Nindyaputri. Fanny A.P. 2014. Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nonor 14/PUU-XI/2013 Tentang Pemilihan Umum Serentak Terhadap Presidential Threshold. Jurnal Ilmiah. 2014.
Ramadhan. Rahmad. 2015. Eksistensi Presidential Treshold Paska Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara.
Internet
Damang. 2014. Meramal Gugatan Presidential Threshold Yusril. (Online) diakses pada tanggal 28 februari 2016.
Revisi UU No 42 Kental Kepentingan. http://www.pikiran-rakyat.com/node/242350 (Online) diakses dari tanggal 28 februari 2016.
Setkab MPR. Prof Saldi Isra : Presidential Thresold Inskonstitusional http://www.MPR.go.id/berita/read/2013/05/07/11985/prof-saldi-isra Presidential-threshold-inkonstitusional diakses tanggal 28 februari 2016.
Sodikin. 2014. Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif Dengan Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden) Dan Penguatan Sistem Presidensial. (Jurnal Online). Jurnal RECHTS VINDING Media Pembinaan Hukum Nasional.
Peraturan Peundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Putusan Pengadilan
Putusan Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013.