TINDAK
PIDANA KORUPSI MASUK KUHP
|
||
Landasan
|
PRO
|
KONTRA
|
- Filosofis, Bangsa Indonesia dalam
memberantas korupsi merupakan keturut sertaannya dalam Memelihara ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial (butir 5 Sila ketiga Persatuan
Indonesia).
- Konstitusional, Indonesia
sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat
(3) UUD 1945), bahwa adanya ketentuan Tindak Pidana
Korupsi/ hukum pidana khusus merupakan cita hukum bangsa Indonesia dalam
membuat berbagai peraturan.
- Operasional, Korupsi adalah Extra Ordinary Crime maka
penanganannya harus pula secara Extra
Ordinary, yaitu melalui UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No. 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Dalam UU No. 20 Th
2001 ttg pemberantasan tindak pidana korupsi.
“bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas, tidak
hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa”
- Revisi UU KUHP-KUHAP merupakan inisiatif
dari pemerintah yang telah diusulkan kepada DPR sejak periode 2009-2014. Saat
ini, RUU itu sendiri masih dibahas antara Komisi III dan Kementerian Hukum
dan HAM.
- RKUHP
terdiri dari dua buku. Buku kesatu mengatur ketentuan umum, buku kedua
mengatur tindak pidana. Secara keseluruhan di dalamnya terdapat 766 Pasal.
|
- RUU KUHP merupakan langkah penting dalam pembaharuan hukum pidana
indonesia, yg sudah dimulai sejak tahun 1963.
- pembaharuan ini perlu dilakukan karena alasan filosofis, politis,
sosiologis dan praktis. (lihat Buku)
- Pilihan pengaturan hukum pidana ke dalam suatu kodifikasi tidaklah
berarti bahwa kedepan tidak ada lagi ketentuan pidana khusus.
- Bagi suatu negara kesejahteraan seperti indonesia yg terdapat dalam
pembukaan UUD 1945 alenia ke 4.(buka UUD). Dengan adanya ketentuan hukum
pidana khusus merupakan suatu keniscayaan. Campur tangan negara dalam banyak
bidang kehidupan masyarakat, guna mewujudkan kesejahteraan bagi
sebesar-besarnya untuk masyarakat, mengharuskan negara membuat berbagai
aturan administrasi.
- Berbagai peraturan administrasi dengan sanksi pidana inilah yg
sesungguhnya awal sejarah penyusunan KUHP.
- KUHP atau
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada dasarnya hanyalah ketentuan-ketentuan
pidana yang terkodifikasi. Apa itu kodifikasi? Menurut Black’s Law Dictionary
kodifikasi (hanyalah) “Suatu proses mengumpulkan, menyusun ketentuan-ketentuan sejenis dalam
satu kitab secara sistematis dan ilmiah yang untuk kemudian dijadikan
undang-undang. Tak ada urusannya dengan umum-atau khusus.
- KUHP sama
saja dengan undang-undang pada umumnya, ya dia juga undang-undang. Yang
membedakan hanyalah bentuknya yang terkodifikasi.
- Dengan sistem kodifikasi puluhan UU yang mengatur tindak pidana dan
prinsip-prinsipnya dapat disederhanakan dalam 1 buku kecil, seperti KUHP yang
kita punya saat ini. Praktis bukan? Kalau aturan-aturan tersebut bisa
disederhanakan dalam 1 UU, untuk apa dibuat rumit menjadi sekian puluh UU? kodifikasi
dibuat untuk kebutuhan praktis, dan sebagai Produk nasional
hukum yang konsepnya baik, yaitu ; demokratisasi, konsolidasi hukum pidana,
adaptasi dan harmonisasi.
- Dalam KUHP diatur sangat banyak jenis tindak pidana, dari pembagian
berdasarkan bab saja dalam Buku II terdapat 31 buah bab yang mengatur
jenis-jenis tindak pidana yang berdiri sendiri. Belum lagi pelanggaran yang
diatur dalam Buku III. Selain itu terdapat lebih dari 85 pasal yang mengatur
ketentuan-ketentuan umum, yang didalamnya mengatur prinsip dan asas-asas
hukum pidana. Tanpa ada sistem kodifikasi maka berarti masing-masing jenis
tindak pidana membutuhkan undang-undang tersendiri. Setidaknya ada 31 buah UU
untuk mengatur semua tindak pidana yang saat ini ada dalam KUHP. Misalnya UU
Pencurian, UU Pembunuhan, UU Pemalsuan dll. Tak hanya itu, masing-masing UU
tersebut harus memuat 85 lebih prinsip-prinsip hukum pidana yang saat ini
diatur dalam Buku I KUHP. Bisa dibayangkan kah seberapa tebal masing-masing
UU tersebut? Bisa dibayangkan juga kah, seberapa banyak undang-undang yang
harus tersedia di meja masing-masing penyidik, penuntut umum, hakim dll?
Sangat tidak praktis bukan?
- Tindak Pidana Korupsi masuk KUHP merupakan semangat pemerintah dan DPR
untuk melakukan kodifikasi dan unifikasi di bidang hukum pidana.
- Revis KUHP merupakan inisiatif dari pemerintah yang telah diusulkan
kepada DPR sejak periode 2009-2014, sebagai pembangunan hukum pidana.
- Eksistensi KPK tidak terancam jika nantinya RKUHP diundangkan, karena
15 Pasal korupsi dalam RKUHP hanya mengatur substansi, tidak menyentuh
penegakan hukumnya.
- Eksistensi KPK tidak terancam jika nantinya RUU KUHP
diundangkan. Luhut memberikan alasan, bahwa 15 pasal korupsi yang terdapat
dalam RUU KUHP hanya mengatur substansi, tidak menyentuh penegakan hukumnya.
- RUU KUHP bukan melemahkan pemberantasan korupsi, tetapi
kodifikasi semua tindak pidana yang jumlahnya ada sembilan. “Menutut saya,
ini adalah produk nasional hukum yang konsepnya baik, yaitu; demokratisasi,
konsolidasi hukum pidana, adaptasi dan harmonisasi.
- Kritik keras dari KPK yang menolak delik korupsi masuk
dalam RUU KUHP lebih karena perasaan emosi bahkan terkesan memonopoli
kebenaran. Padahal, sebenarnya hiruk-pikuk pemberantasan korupsi sekarang,
lebih dikarenakan isu politisasinya daripada penegakan hukum. “Kami dari tim pro
tidak setuju dengan sikap KPK yang menolak keberadaan RUU KUHP.
- Cara-cara menghardik terhadap pembahasan RUU KUHP. Ia
menyarankan agar pihak-pihak yang tidak setuju hendaknya menyampaikan saja
dengan membuat daftar inventarisasi masalah. “Jangan sampai RUU ini tidak jadi diundangkan hanya karena
emosi yang berkembang.
- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan
Laoly menegaskan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak akan
dilumpuhkan dalam pembahasan RKUHP.
- Yasonna memastikan bahwa delik khusus, seperti korupsi
akan tetap dihargai.
- RKUHP bertujuan untuk membuat kodifikasi hukum di
Indonesia. Walau begitu, keberadaan pidana khusus seperti korupsi di RKUHP
tidak akan menghilangkan lembaga KPK sebagai aparat penegak hukum.
- Tidak berarti BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme) menjadi bubar dengan delik terorirsme ada di KUHP. Delik pencucian
uang jadi hilang, ya enggak. Ini kan tetap kewenangan penegakan hukum.
- Dengan adanya
pasal 211 RUU-KUHP, maka terbuka peluang untuk mengatur lex specialis diluar
KUHP. Pasal ini mamatahkan argumentasi bahwa kelak dengan berlakunya UU ini,
maka UU Pidana diluar KUHP menjadi hilang. Justru Kelak setelah RUU ini
diberlakukan sebagai lex generalis atau ketentuan umum, maka eksistensi UU
pidana khusus yang berperan sebagai lex spesialis tetap diakui. (hal 6)
- Apakah benar seluruh tindak pidana yang diatur dalam KUHP berarti adalah
‘kejahatan biasa’?
- Apakah tindak pidana membunuh presiden atau kepala
negara adalah kejahatan biasa?
- Apakah kejahatan Pemberontakan adalah kejahatan
biasa?
- Apakah kejahatan makar dengan maksud untuk
memisahkan sebagian wilayah dari negara ini adalah kejahatan biasa?
- Jika kita
menjawab kejahatan-kejahatan tersebut adalah kejahatan biasa, apalagi
biasa-biasa saja, mungkin ada yang salah dengan jempol kaki anda, cantengan
mungkin. Dalam KUHAP Buku Kedua Bab Kesatu tentang Kejahatan Terhadap
Keamanan Negara. bahkan diatur khusus kejahatan-kejahatan ini saat
pemeriksaan tersangka di tahap penyidikan, penasihat hukum tidak boleh
mendengar pemeriksaan yang dilakukan, hanya melihat semata.
- Sekarang
pertanyaannya kita balik, apakah jika suatu tindak pidana diatur di luar KUHP
maka berarti tindak pidana tersebut adalah tindak pidana yang bersifat luar
biasa? Jika ya, lalu bagaimana dengan pelanggaran lalu lintas? Kejahatan luar
biasa kah? Tindak Pidana terkait Lalu Lintas di atur dalam UU No. 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum lho, yang artinya di atur di luar
KUHP. Apa luar biasanya ya pelanggaran maupun kejahatan lalu lintas, seperti
melanggar rambu-rambu lalin atau menabrak orang karena lalai?.
- Pandangan
yang menganggap bahwa tindak pidana yang diatur dalam KUHP adalah tindak
pidana umum sementara di luar KUHP adalah khusus, kemudian umum-khusus
tersebut dikaitkan juga dengan luar biasa atau tidaknya suatu kejahatan tidak
terlepas dari bagaimana kita melihat apa itu KUHP itu sendiri. Pandangan
tersebut biasanya terlalu melebih-lebih kan KUHP, seakan KUHP adalah mahluk
tersendiri yang tak jarang dianggap tidak bisa diubah, tak jarang juga
dianggap KUHP berpasang-pasangan dengan KUHAP. KUHAP hanya untuk KUHP dan
KUHP hukum acaranya pasti hanya KUHAP, tidak bisa lebih. Suatu cara pandang
yang keliru, sesat dan menyesatkan. Satu contoh kecil yang dapat membantah
hal ini misalnya pencurian yang dilakukan oleh anak dibawah umur. Kejahatan
ini diatur dalam KUHP (362 dst), namun karena pelakunya anak dibawah umur
hukum acaranya tidak hanya KUHAP namun juga hukum acara pidana anak yang saat
ini diatur dalam UU No. 11 Tahun 2012 tentang Siste Peradilan Pidana Anak.
- KUHP tidak
bisa diubah, atau setidaknya sulit untuk diubah. Suatu pandangan yang keliru.
Karena KUHP atau kodifikasi UU lainnya adalah undang-undang juga, maka ia
bisa diubah. Bagaimana cara mengubahnya? Ya buat saja UU yang menyatakan atau
didalamnya menyatakan bahwa terdapat suatu ketentuan di KUHP yang diubah.
Praktik ini sudah sering terjadi kok, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di
seluruh negara yang menganut sistem kodifikasi. Apa buktinya? Lha, itu UU No.
20 Tahun 2001 sendiri telah mengubah KUHP, dengan menyatakan beberapa pasal
di KUHP tidak berlaku lagi.
Contoh lainnya?
Cek di KUHP yang anda pegang saat ini, bagaimana bisa ada kata “Presiden” di
dalam Pasal 134 padahal katanya KUHP buatan belanda, sementara di belanda
tidak ada jabatan Presiden. Kata ‘presiden’ ini masuk karena perubahan yang
dilakukan oleh UU No. 1 Tahun 1946 tentang Hukum Pidana. Mau contoh lainnya?
Cek Bab XXIXA KUHP tentang Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan Terhadap
Sarana /Prasarana Penerbangan. Apakah bab ini sudah ada sejak tahun 1915
ketika KUHP untuk hindia belanda ini dibuat? Tidak. Bab ini ditambahkan
melalui UU No. 4 Tahun 1976. Banyak kok perubahan-perubahan terhadap KUHP.
KUHP bukan benda sakral yang tidak bisa diubah, atau membutuhkan waktu 100
tahun untuk mengubahnya.
- Apa kaitannya
kodifikasi dengan luar biasa atau tidaknya suatu tindak pidana? Tidak ada.
Jika korupsi dipindahkan ke dalam KUHP tidak akan menghilangkan sifat luar
biasanya (kalau kita sepakat korupsi adalah kejahatan luar biasa). Normanya
tetap setingkat UU karena KUHP ya undang-undang. Hukum acaranya tetap dapat
diatur secara khusus, seperti halnya tindak pidana yang dilakukan anak
dibawah umur. Sekali lagi kodifikasi tujuannya hanyalah untuk kegunaan
praktis dan sebagai Produk nasional hukum yang konsepnya baik, yaitu ;
demokratisasi, konsolidasi hukum pidana, adaptasi dan harmonisasi.
- Jadi menurut
pemikiran kami, masih mikir jika korupsi dipindahkan ke KUHP akan
kehilangan sifat keluarbiasaannya?
|
- Pengaturan tentang tindak pidana koupsi berawal dari
peraturan penguasa perang pusat pada tahun 1957 yg dikeluarkan berdasarkan UU
darurat. Sampai saat ini pengaturan tetap dalam UU. Ini menunjukkan bahwa
pandangan masyarakat terhadap tindak pidana korupsi sejak pertengahan tahun
50-an tersebut hingga sekarang tetap sama, bahwa tindak pidana korupsi
merupakan tindak pidana khusus yg membutuhkan pengaturan tersendiri pula
untuk menanggulanginya. (sumber hal 4).
- Muladi selaku Ketua Tim Penyusun RUU-KUHP pun
menyatakan, bahwa dalam memilih delik-delik yang ada di dalam UU khusus
(untuk dimasukkan ke dalam RUU-KUHP), konsep kodifikasi mendasarkan pada
kriteria tindak pidana yang bersifat umum. Dalam hal ini bertolak belakang
dengan sejarah dibentuknya pengaturan tindak pidana korupsi yang bersifat
khusus.
-Korupsi sebagai kejahatan luar biasa sekarang ini hanya
mampu diberantas melalui Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) secara
kelembagaan, dengan senjatanya yang bersifat khusus, yakni UU No 20/2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
-Jikalau delik korupsi tetap dipaksakan untuk masuk dalam RUU KUHP, apakah memang saat
ini lembaga kepolisian dan kejaksaan sudah dapat dipercaya? Jadi, KPK harus diberi
kesempatan untuk bekerja dahulu.
-
Kami dari tim kontra mengajak kepada segenap bangsa untuk kembali mengigat
sejarah, bahwa dibentuknya KPK oleh karena kepolisian dan kejaksaan sudah
tidak dipercaya dalam memberantas korupsi.
-
Terkait
dengan semangat pemerintah bersama DPR untuk melakukan kodifikasi dan
unifikasi di bidang hukum pidana, Sahetapy menyatakan bahwa niat itu sah-sah
saja. Namun, bukan berarti seluruh tindak pidana disusun dalam satu buku.
- Kodifikasi
tidak boleh diartikan seluruh tindak
pidana, harus disusun dalam satu buku. Artinya, RUU KUHP harus dilakukan
melalui proses pengkajian yang kritis. Dengan demikian, delik korupsi tidak
layak dimasukan dalam RUU KUHP. Supaya tidak salah paham, kodifikasi adalah
menghimpun semua peraturan yang ada dalam satu buku. Tapi itu tidak berarti
tidak boleh ada peraturan di luar buku itu. Itu yang saya kira ada
kesalahpahaman. Kodifikasi bisa saja dilakukan, tapi itu tidak berarti tidak
boleh ada peraturan lain di luar kodifikasi.
- Secara akademik dan praktik, masuknya delik tipikor dalam KUHP akan
mereduksi kewenangan yang dimiliki KPK (penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan termasuk menyangkut wiretapping/ penyadapan), karena korupsi telah
menjadi ranah tindak pidana umum jadi bukan lagi ranah KPK.
- Kelembagaan pemberantasan korupsi
semakin sempit ruang lingkup tugas dan fungsinya.
- Pemerintah dan DPR mesti mengingat
kembali bahwa korupsi sampai saat ini masih menjadi kejahatan yang sangat
mengancam.
-
Sikap
KPK maupun lembaga-lembaga penegak hukum lain yang merasa dirugikan akan
keberadaan RUU KUHP sangat beralasan. Khusus KPK, menurutnya, dengan
dimasukkannya delik korupsi dalam KUHP, maka tinggal menunggu hari saja nasib
KPK. “Jika delik korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP, maka pertanyaan saya,
bagaimana dengan hukum acaranya?
- Penempatan delik tipikor dalam RKUHP akan mempengaruhi
segala kewenangan KPK dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Sebagaimana diketahui, KPK memiliki kewenangan khusus yang diatur dalam UU
No.30 Tahun 2002 tentang KPK, seperti
penyadapan dan perekaman di tingkat penyelidikan.
- RUU KUHP terdiri dari dua buku. Buku
kesatu mengatur ketentuan umum, buku kedua mengatur tindak pidana.Secara
keseluruhan di dalamnya terdapat 766 pasal.
Sahetapy menghimbau agar di dalam KUHP perlu dibicarakan betul-betul
buku satu, karena di situlah pembahasannya.
-
Profesor Sahetapy banyak
berkontribusi pada awal-awal pembahasan RUU KUHP dan RUU KUHAP memang sangat
teguh pada pendiriannya bahwa kedua RUU
itu lebih baik dianulir. Ia mengungkapkan alasannya, pada era Presiden
Soeharto, para ahli sudah hampir menyelesaikan RUU-RUU itu, tinggal satu atau
dua pasal, tetapi begitu era reformasi, RUU itu dinyatakan tidak relevan.
“Lain koki, lain masakannya.
- Inti masukan kami, agar delik korupsi dalam UU Tipikor
untuk sementara tidak masuk dalam RKUHP. Pemahanan secara akademik maupun
praktik, jika delik tindak pidana korupsi (tipikor) masuk dalam RUU KUHP,
maka akan mengalami perubahan menjadi delik tindak pidana umum (tipidum). Apabila kepolisian
dan kejaksaan sudah dipercaya dalam memberantas korupsi maka barulah bisa dimasukan dalam RKUHP. Jadi intinya
benahi terlebih dahulu kepolisian dan kejaksaan.
- Dalam hal ini pula, kami tim pro menyarankan Dirjen PP Kemenkumham
mendiskusikan dan membicarakan secara intensif rumusan RUU KUHP dengan para
stakeholder, termasuk KPK dan Kejaksaan. permasalahan ini diselesaikan
terlebih dahulu sebelum pemerintah melakukan pembahasan dengan DPR.
- Jika pada revisi UU KUHP diatur
tentang tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang maka UU
Tipikor dan UU Pencucian Uang tidak akan berlaku. hal tersebut akan membatasi
gerak KPK, Kejaksaan, Tipikor dan PPATK yang bergerak berdasarkan UU Tipikor
dan UU Pencucian Uang. hal tersebut juga akan menghilangkan semangat dan roh
bahwa tindak pidana korupsi adalah tindak kejahatan luar biasa.
- Jika RUU KUHP ini berlaku dan
disahkan maka yang punya kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi
hanyalah polisi, maka KPK akan menjadi Komisi Pencegahan Korupsi.
- Dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) KUHP yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada 2015,
delik korupsi masuk dalam pasal 687-706. Adapun delik tindak pidana pencucian
uang (TPPU) ada di pasal 767. Adanya delik korupsi dalam RUU KUHP ini ditolak
KPK. "Inti masukan KPK, agar delik-delik korupsi tidak dimasukkan dalam
rancangan KUHP.
- Korupsi bisa menjadi ranah
tindak pidana umum jika diatur dalam KUHP dan bukan lagi menjadi ranah KPK.
"Karena, pemahamam secara akademik maupun praktik dalam hal delik
tipikor jika masuk ke dalam KUHP menjadi tindak pidana umum. Kalau begitu,
bukan ranahnya KPK.
- Masuknya delik korupsi ke dalam
KUHP akan berdampak pada kewenangan yang dimiliki KPK. Termasuk kewenangan
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. "Akan ada reduksi
kewenangan yang dimiliki KPK.
Ini menyangkut pemeriksa KPK,
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta menyangkut wiretapping
(penyadapan). Wiretapping kan front gate KPK di penyelidikan.
- Kondisi tindak pidana korupsi di dalam masyarakat
indonesia, berbeda dengan tindak pidana lain yang juga berat, seperti
terorisme misalnya. Di Indonesia Korupsi adalah kejahatan yang bersifat
sistematis dan meluas, dan merampas hak-hak ekonomi dan sosial rakyat banyak,
sehingga dianggap sebagai extra ordinary crime.
-
RKUHP harus dilakukan melalui proses
pengkajian yang kritis. Dan perlunya persetujuan dari KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan DPR.
- Jika dikaji dengan
seksama berdasarkan naskah akademis tahun 2010, tim yang merevisi konsep
KUHP, memasukkan begitu saja hampir semua tindak pidana di luar KUHP de dalam
RUU. Pengaturan tersebut ke dalam RUU, tanpa ada sinkronisasi dengan
pengaturan tindak pidana tersebut dalam rancangan Buku II yg sudah ada
sebelumnya. Misal sesuai pasal 666,667 dst dalam RUU-KUHP : pengaturan tindak
pidana korupsi, yang menempatkan delik suap (pegawai negeri dan hakim) ke
dalam delik terhadap jabatan, tidak lagi dalam bab tindak pidana korupsi.
Menjadikan suap
(pegawai negeri dan hakim) bukan lagi tindak pidana korupsi.
-Pandangan
kami sebagai tim kontra pemikiran tersebut merupakan pemikian yang sangat
bertentangan dengan logika hukum yang berkembang dalam masyarakat, baik
nasional maupun internasional. Dalam praktik penegakan hukum pidana korupsi,
suap adalah bentuk korupsi yang paling banyak terjadi dan ditangani oleh
penegak hukum. Menurut data ICW ada sebanyak 590 kasus suap pada 2015
semseter pertama. Dengan kerugian sebanyak 475,3 milyar.
|